Coba tanya ke orang random di jalan, “Kalau dengar kata anarkis, apa yang kebayang?”
Jawabannya biasanya nggak jauh-jauh dari: rusuh, chaos, teroris, anti-aturan, orang yang nggak mau diatur. Narasi ini sudah lama dijual, entah lewat media, sekolah, atau propaganda negara. Padahal, anarkisme sama sekali bukan “semua bebas berbuat sesuka hati” atau anything goes.
Masalahnya memang ada di kata anarki itu sendiri. Selama ini ia didefinisikan secara negatif, dinisbatkan sama ketiadaan pemerintah, ketiadaan hukum, ketiadaan aturan. Dan kalau definisinya begitu, wajar orang jadi takut. Tapi coba balik sebentar, apa sih sebenarnya yang dimaksud para anarkis?
Anarkisme, dalam gerakan aslinya, bukan tentang hidup tanpa aturan. Justru sebaliknya, ia bicara tentang hidup dengan aturan yang kita buat sendiri, secara kolektif, setara, tanpa bos, tanpa tuan, tanpa elite yang mendominasi. Yang ditolak oleh anarkisme bukan “aturan”, tapi aturan yang dipaksakan dari atas: negara yang menindas, korporasi yang rakus, atau relasi sosial yang mengekang.
Jadi kalau ada yang bilang “anarkisme itu anti-organisasi”, itu jelas salah alamat. Sejarah justru menunjukkan bahwa kaum anarkis jago bikin organisasi, organisasi yang hidup dari bawah, horizontal, bukan birokrasi top-down. Mereka percaya kebebasan sejati itu baru ada kalau semua orang bisa ikut mengatur keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Dan itu yang mereka sebut self-management.
Dari Barcelona 1936, Kita Belajar… .
Kalau mau bukti nyata, kita bisa lihat ke Spanyol tahun 1936. Waktu itu, kudeta militer pecah. Dan siapa yang pertama kali berhasil memukul mundur tentara di Barcelona? Bukan pemerintah pusat, bukan partai besar, tapi serikat buruh anarkis: CNT.
Mereka nggak Cuma melawan. Mereka ambil alih pabrik, transportasi, sampai tanah pertanian. Lebih dari 18 ribu perusahaan dan jutaan hektar lahan langsung dikelola para pekerja sendiri. Transportasi mereka atur ulang, perusahaan-perusahaan yang tumpang tindih ditutup biar efisien. Desa-desa bikin majelis demokrasi langsung, dimana semua orang bisa bicara, semua orang punya suara.
Itu bukan sekadar “eksperimen utopis”. Itu nyata, berjalan, dan sempat bikin jutaan orang hidup dalam sistem self-management. CNT bahkan sempat punya 2,5 juta anggota, jadi serikat terbesar di Spanyol waktu itu. Jadi siapa bilang anarkisme nggak bisa jalan di dunia nyata?
Kenapa Bisa Kalah?
Tentu ada yang nyeletuk: “Kalau memang hebat, kenapa akhirnya kalah?”
Jawabannya, karena dikhianati. Bukan karena idenya cacat.
Komunis yang menguasai pemerintahan saat itu justru meminggirkan anarkis. Cadangan emas negara dikirim ke Uni Soviet, pasukan dikelola dengan strategi kuno ala Perang Dunia I yang habisin banyak nyawa. Alih-alih memperkuat kemandirian rakyat, mereka balik menyeragamkan dengan pola lama. Akhirnya, kekuatan rakyat yang udah terbukti efektif justru dipreteli dari dalam.
Artinya, kekalahan itu bukan bukti anarkisme gagal. Itu bukti bahwa politik kuasa selalu takut kalau rakyat beneran bisa mengatur dirinya sendiri tanpa elite.
Hikmah Buat Kita Sekarang Apa?
Kenapa cerita ini penting di abad 21? Karena kita hidup di dunia yang makin hari makin penuh dengan krisis demokrasi. Politik direduksi jadi rebutan kursi, uang, buzzer, dan citra. Rakyat? Ya paling banter jadi angka survei dan baliho.
Di titik ini, gagasan anarkisme terasa segar, kalau ada cara lain buat ngatur hidup bareng-bareng tanpa harus tunduk sama elite. Demokrasi langsung, solidaritas kolektif, self-management, dimana demua itu bisa jadi fondasi baru. Bahkan sekarang kita lihat banyak bentuk kecil dari prinsip ini: koperasi, komunitas solidaritas, demokrasi partisipatif di tingkat lokal.
Anarkisme mengajarkan satu hal penting: kebebasan bukan berarti hidup sendirian tanpa aturan, tapi hidup bareng-bareng dengan aturan yang kita tentukan bersama. Bukan aturan yang lahir dari ruang rapat elite, tapi dari ruang publik tempat semua orang punya suara.
Dari Mitos ke Kenyataan
Label “anarkis itu chaos” sudah terlalu lama dipelihara, dan tujuannya jelas: menakut-nakuti orang supaya nggak percaya pada kekuatan dirinya sendiri. Tapi kalau kita mau jujur, anarkisme bukan tentang kehancuran. Ia tentang membangun masyarakat tanpa dominasi, di mana kebebasan dan kesetaraan berjalan bareng.
Pengalaman Spanyol 1936 membuktikan kalau anarkisme bisa bekerja. Kekalahan mereka bukan akhir, melainkan pelajaran. Dan hari ini, ketika demokrasi formal makin kehilangan ruh, ide-ide anarkis justru terasa semakin relevan.
Karena pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar bukanlah “apa jadinya kalau nggak ada negara?” tapi: “apa jadinya kalau rakyat benar-benar berkuasa atas hidupnya sendiri?”
Referensi:
Chomsky, N. (2005). Chomsky on anarchism. Oakland: AK Press.
Dolgoff, S. (Ed.). (1974). The anarchist collectives: Workers’ self-management in the Spanish Revolution, 1936–1939. New York: Free Life Editions.
Marshall, P. (2009). Demanding the impossible: A history of anarchism. Oakland: PM Press.00
Woodcock, G. (2004). Anarchism: A history of libertarian ideas and movements. Peterborough, ON: Broadview Press.