Aku Membaca, Maka Aku Tersesat

Sebuah Esai dari Ahmad Rizki

Seingatku, selalu ada dua tempat yang muncul setiap kali aku membaca: kelas kecil yang lembap pada musim hujan, dan warung kopi murahan di sudut gang yang pencahayaannya selalu redup, seakan lampunya malas hidup. Dua kedua itu saling menegasikan dan menjelaskan.

Di kelas itulah, beberapa tahun yang lalu, seorang guru mengangkat buku tebal dan berkata, “Buku adalah jendela dunia.” Di luar, langit muram, dan banjir sudah mengintai selokan kota seperti hewan lapar yang gigih menunggu mangsa. Aku mendengarkan kalimat itu seolah mendengar hukum alam. Aneh, bagaimana satu kalimat bisa mengunci cara seseorang membaca selama bertahun-tahun.

Lalu adegan itu lompat--entah kenapa harus melompat--ketika aku yang duduk di warung kopi pinggir jalan, saat sore yang sama mendungnya ketika di kelas itu. Aku membuka sebuah buku, tetapi bukan untuk mematuhinya. Aku membuka buku itu sambil merasakan gugup kecil pada pikiranku sendiri. Ternyata, membaca bukan lagi perkara meyakini, tetapi mengenang bagaimana dulu aku terlalu percaya oleh hal-hal itu.

Di antara dua ruang itu, hidupku sebagai pembaca berlangsung: kadang linier, patuh, atau kadang berantakan.

**

Ada masa ketika aku membaca seperti orang mencari wahyu. Masa itu, jika kuingat, terasa seperti ruangan tertutup tanpa jendela, ironis, mengingat aku memuja buku sebagai jendela dunia. Setiap kata-frasa-kalimat-wacana yang terorkestrasi dalam buku kubaca seperti titah yang turun dari langit. Kukuh, tidak boleh digugat. Aku menghormati halaman seperti tempat suci. Kini aku tertawa getir membayangkannya: betapa mudahnya aku memercayai sesuatu hanya karena tercetak rapi dan disampaikan dengan nama besar.

Sementara di warung kopi, beberapa tahun kemudian, aku menyadari betapa semua itu hanya suara manusia lain yang ingin terdengar benar. Tapi di masa itu, aku belum punya keberanian untuk curiga. Klaim sejarah? Kuanggap pasti. Pendapat pribadi? Kuberi mahkota. Aku lebih mencintai wibawa kertas daripada kebenaran yang hidup di dunia yang tak pernah selesai.

**

Waktu lain, aku tidak tahu apakah ini sebelum atau sesudah kesadaran itu tumbuh, aku ingat mengutip satu kalimat dari buku yang kubaca di tengah malam. Kata-kata itu berbunyi seperti “cahaya” yang kupakai menerangi argumenku, padahal sebenarnya hanya opini, atau pseudo-teoritis-ilmiah, yang kebetulan puitis. Dalam banyak perdebatan, aku merasa gagah, seakan berpijak pada fondasi kokoh, padahal sejatinya aku hanya mengulang keinginan seseorang yang tak pernah kutemui. Jika dipikir ulang, itu seperti memakai jas orang lain lalu mengaku milikku.

Ha-ha-ha. Menghibur sekaligus memalukan: selama ini aku bukan memikirkan sesuatu, melainkan memamerkan pikiran orang lain tanpa tahu bagaimana pikiran itu lahir.


**

Di warung kopi lain, entah tahun berapa, aku menyadari kebiasaanku merusak konteks. Penulis berbicara tentang satu perkara, tapi aku menyeret kalimatnya ke masalah yang lebih cocok dengan pemahaman-ambisiku. Aku mencuri bunga tanpa peduli akar, tanpa peduli musim. Yang indah kubawa pulang seolah ia milikku. Dan aku mengira keindahan itu cukup sebagai argumen.

Betapa bodohnya mengira kecocokan yang kupaksakan adalah kebenaran. Padahal itu hanya ilusi agar pikiranku tampak rapi.


**

Ada juga kebiasaan menafsirkan apa yang tidak pernah dikatakan. Jika ada ruang kosong antara dua kalimat, aku mengisinya dengan fantasi. Jika penulis mengkritik sesuatu, aku menuduhnya ia mendukung hal lain. Atau, jika ia menyinggung cacat sebuah metode, aku mengira ia menyimpan solusi rahasia.

Diam, ternyata, lebih sering membongkar ketidaktahuan penafsir daripada kebijaksanaan penulisnya. Tapi dulu, aku bangga menganggap imajinasiku sebagai cahaya kecil yang menuntun teks keluar dari kebisuannya, padahal mungkin aku hanya menciptakan gema kosong dari pikiranku sendiri.

**

Kenangan lain muncul: percakapan warung kopi, berdebu oleh metafora yang tak pada tempatnya. Kata-kata teknis yang seharusnya berada di ruang ilmiah kupakai seenaknya, seolah pisau dapur yang dibawa untuk memotong segala hal. Dalam proses itu, makna kata-frasa-klausa-kalimat terkelupas dan kehilangan kehormatannya. Tapi aku dulu tak sadar, sibuk mengejar "kesan" cerdas.

**

Setelah memikirkan itu semua, jika dijahitkan, seluruh kekeliruan itu memiliki satu akar: aku ingin cara membaca yang mudah. Menerima, bukan menimbang. Ingin buku memberiku jawaban, bukan tantangan. Ingin merasa pintar tanpa repot menggali.

Tapi di suatu sore yang lambat, entah pada tahun yang keberapa, ketika aku membuka buku di warung kopi dengan hujan turun di luar seperti selaput tipis memisahkan dunia, sebuah kesadaran lahir pelan-pelan: buku tidak ingin dipatuhi. Ia ingin dipertanyakan, ditolak, dibantah, bahkan disalahpahami. Asalkan pembacanya tidak malas berpikir, sebagaimana aku yang dulu dan sekarang.

Jika didengar baik-baik, sebagaimana fantasi pikiranku, setiap halaman seperti memohon dengan suara renyah: “Jangan percaya begitu saja. Lihat aku dari dekat. Kulitku tipis.”


**

Dan di jam paling sunyi, yang kadang datang pada pagi buta, kadang di tengah bau gorengan warung habis isya, aku merasa akhirnya mengerti sesuatu. Membaca bukan pekerjaan mengumpulkan kepastian, melainkan tirakat kecil untuk hidup lebih sadar: mendengarkan apa yang tidak dikatakan, meragukan apa yang tampak meyakinkan, menertawakan kesombongan diri sendiri yang dulu mengira kebenaran bisa ditemukan dalam satu paragraf.

Kini, ketika kubuka buku, aku tidak lagi mencari pintu langsung menuju dunia. Aku mencari celah, napas, keretakan kecil di antara huruf, tempat pikiranku dan pikiran penulis bisa saling mengintip, tanpa tunduk, tanpa harus menang.

Membaca bukan lagi peta menuju kebenaran, tetapi, mungkin, sesuatu cara paling lembut untuk tersesat.

“Oh,” gumamku, sambil menyalakan rokok di warung yang selalu lembap itu, “ternyata membaca bukan untuk jatuh cinta pada kepastian, tapi pada cara kepastian itu retak dengan anggun.”

Hujan turun. Halaman basah. Dan untuk pertama kalinya, aku membaca tanpa perlu percaya, cukup perlu hadir.


Tangerang, 19/11/2025

Posting Komentar

Related Posts