Sekolah Tak Lagi Aman, Darurat Perundungan dan Kegagalan Sistem

Ilustrasi - Istimewa

SumberDayaPikiran - Minggu (16/11/2025) pagi di Tangerang Selatan (Tangsel), di rumah duka, berinisial MH (19), siswa SMPN 19 Tangsel, meninggal akibat kekerasan berulang sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bulan Oktober. Luka-luka di tubuhnya bukan kecelakaan: kursi besi, menurut dokter, menjadi alat kekerasan yang berulang.

MH hanyalah salah satu dari banyak anak yang menjadi korban perundungan di Indonesia. Di balik data statistik, ada kisah nyata, kisah anak-anak yang setiap hari menghadapi intimidasi, ejekan, bahkan kekerasan fisik dari teman sebaya dan, dalam beberapa kasus, guru sendiri.

Meminjam data laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus kekerasan di lembaga pendidikan melonjak drastis dalam lima tahun terakhir. Pada 2020 tercatat 91 kasus, meningkat menjadi 142 kasus pada 2021, lalu menjadi 194 kasus pada 2022, 285 kasus pada 2023, hingga akhirnya 573 kasus pada 2024.

Sebagian besar kasus terjadi di sekolah umum, sementara madrasah dan pesantren juga menyumbang angka signifikan, masing-masing 92 dan 114 kasus. Bullying fisik mendominasi dengan 55,5 persen, disusul bullying verbal atau psikis sebesar 29,3 persen, dan cyberbullying yang meningkat lebih dari 100 persen dalam satu tahun terakhir.

Dari sisi jenjang pendidikan, korban terbanyak adalah anak SD (26 persen), diikuti SMP (25 persen) dan SMA (18,75 persen). Anak-anak pada usia paling awal pendidikan ini menghadapi risiko yang paling tinggi, baik secara fisik maupun psikologis.

Data terbaru, tahun 2025, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.052 kasus kekerasan, 165 di antaranya terjadi di sekolah, dan 26 berujung kematian. JPPI menilai kematian ini sebagai bukti kegagalan sistemik. 

“Anak-anak kehilangan nyawa setelah berbulan-bulan kekerasan berlangsung tanpa intervensi berarti. Ini bukan kelalaian, tapi kegagalan negara,” ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, dalam pernyataan resminya.

Struktur perlindungan anak di sekolah, seperti Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK), dinilai JPPI sebagian besar hanya formalitas. 

Satgas menerima fasilitas dan anggaran, namun hasil kerjanya tidak terlihat di lapangan. Banyak TPPK di sekolah hanya ada di atas kertas, tanpa pemantauan, tindak lanjut, atau perlindungan nyata bagi korban.

KPAI menyebut tiga faktor utama yang memperparah kekerasan: (1) Budaya disiplin keras di sekolah, (2) Minimnya tenaga konselor atau tenaga kesehatan jiwa, dan (3) Rendahnya literasi digital anak, memicu cyberbullying.

Pemangku kebijakan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan, “Itu harus kita atasi,” ketika menanggapi kasus MH pada kunjungan ke Bekasi.

Sementara itu, Kementerian PPPA berupaya memperkuat perlindungan melalui program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Tahun 2025, 355 daerah menerima penghargaan, turun dari 360 pada 2023. Penurunan ini dianggap sebagai sinyal bahwa sistem perlindungan anak masih rapuh, terutama dalam masa transisi kepemimpinan dan pergantian SDM.

Menteri PPPA menekankan bahwa penghargaan KLA bukan sekadar simbol, melainkan alat refleksi untuk memperbaiki sistem perlindungan anak. Evaluasi KLA dilakukan berlapis: mulai dari evaluasi mandiri pemerintah daerah, verifikasi administrasi provinsi, hingga verifikasi lapangan dan final oleh tim pusat.

Di balik angka, cerita manusia menjerit. MH dan anak-anak lain adalah bukti nyata bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman, justru menjadi arena kekerasan. 

Setiap luka fisik dan psikologis mereka adalah peringatan: jika sistem tidak diperbaiki, korban berikutnya hanya menunggu waktu.

Data JPPI dan KPAI menunjukkan tren yang konsisten: perundungan, kekerasan fisik, dan kekerasan siber terus meningkat. Korban jiwa dan luka serius menjadi simbol dari kegagalan sistem. Sementara pemerintah mulai bergerak, responnya masih bersifat reaktif, tidak sistemik.

Perlindungan anak tidak cukup dijadikan formalitas atau penghargaan simbolik. Sekolah harus kembali menjadi tempat aman, perlindungan harus nyata, dan sistem harus bekerja, bukan sekadar ada di atas kertas.

MH dan puluhan korban lain bukan sekadar angka. Mereka adalah pengingat pahit bahwa kegagalan melindungi anak adalah kegagalan moral dan sistemik negara.

Posting Komentar

Related Posts