Ferry Irwandi 10 M vs Menteri Pertanian 75 M, Dua Gelombang Solidaritas

Dalam menghadapi bencana sebesar banjir bandang di Aceh dan Sumatera, bangsa ini tidak hanya bergantung pada negara atau individu. Keduanya saling ...

Ilustrasi - Kiri (Ferry Irwandi) Kanan (Amran Sulaiman) Menteri Pertanian

Fenomena dua penggalangan dana besar untuk korban banjir bandang di Aceh dan Sumatera dalam waktu berdekatan telah memicu diskusi luas di ruang publik. Ferry Irwandi, mantan ASN Kementerian Keuangan yang kini dikenal sebagai YouTuber, mengejutkan publik dengan mengumpulkan donasi lebih dari Rp10,3 miliar melalui live streaming 24 jam. Hanya sehari berselang, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menghimpun donasi jauh lebih besar, mencapai Rp75,85 miliar dalam waktu sekitar satu jam. Dua angka fantastis ini bukan semata-mata rekor, tetapi representasi dua arus solidaritas yang berbeda, solidaritas warga berbasis digital dan solidaritas institusional berbasis negara yang kini saling melengkapi dalam menghadapi bencana kemanusiaan.

Pada sisi pertama, keberhasilan Ferry Irwandi menggalang Rp10 miliar menunjukkan betapa kuatnya ekosistem solidaritas warga di era digital. Tanpa institusi formal, tanpa struktur birokrasi, hanya bermodalkan kredibilitas personal dan kedekatan emosional dengan audiensnya, Ferry mampu menciptakan ruang kepercayaan yang luas. Dalam tiga jam pertama live streaming, donasi sudah tembus Rp1 miliar, dan angka itu terus naik hingga mencapai lebih dari Rp10 miliar dari sekitar 87.000 donatur. Fakta bahwa ini menjadi penggalangan dana terbesar di platform Kitabisa untuk kategori bencana nasional memperlihatkan tingkat partisipasi publik yang luar biasa. Masyarakat merespons karena merasa dekat, melihat prosesnya secara langsung, dan menyaksikan transparansi tanpa jeda. Pola ini mempertegas bagaimana masyarakat kini lebih percaya pada hubungan horizontal yang dibangun oleh tokoh-tokoh digital yang mereka nilai autentik, responsif, dan tidak terkesan berjarak seperti pejabat formal.

Namun keberhasilan Ferry tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia merupakan simbol dari perubahan budaya filantropi Indonesia. Masyarakat kini tidak menunggu arahan pemerintah untuk memberi bantuan; mereka bergerak berdasarkan empati sesama warga. Inilah potret solidaritas baru yang organik, cepat, dan spontan. Gelombang ini menunjukkan bahwa kepedulian bukan monopoli negara atau lembaga besar. Rakyat biasa pun dapat menggerakkan ribuan orang untuk saling membantu, bahkan dengan skala yang setara dengan institusi formal. Di sinilah letak kekuatan sosial dari fenomena Ferry: ia bukan hanya mengumpulkan uang, tetapi mengaktifkan rasa kepemilikan bersama terhadap solusi kemanusiaan.

Di sisi lain, penggalangan dana oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menghadirkan skala dan dinamika yang berbeda. Dengan seruan moral yang disampaikan secara terbuka, ia mampu menggerakkan pegawai kementerian, Bapanas, dan mitra usaha sektor pertanian untuk berdonasi bersama. Dalam satu jam, jumlahnya mencapai Rp75,85 miliar—angka yang mencerminkan daya konsolidasi besar yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Meskipun besarnya dana memikat perhatian publik, yang jauh lebih penting adalah pendekatan yang diambil: tidak ada paksaan, setiap orang menyumbang sesuai kemampuan, bahkan sekecil Rp20.000. Amran menekankan bahwa solidaritas bukan seremoni, melainkan panggilan moral bangsa. Transparansi juga menjadi sorotan ketika ia menantang jajarannya mengecek aliran dana secara langsung, sebuah langkah yang mencoba memotong potensi persepsi negatif yang sering menghantui kegiatan institusional.

Jika dilihat secara sosial, keberhasilan Kementan menunjukkan bagaimana struktur negara tetap memiliki peran dominan dalam mobilisasi besar. Negara memiliki sumber daya, jaringan formal, dan daya dorong moral yang dapat menggerakkan baik individu maupun korporasi. Di tengah maraknya inisiatif filantropi warga, negara menunjukkan bahwa ia masih mampu menjadi simpul utama dalam konsolidasi bantuan skala besar. Tetapi ada ironi menarik: besarnya donasi institusi tidak serta-merta mematikan solidaritas warga. Justru muncul dua arus yang berjalan paralel, yang satu organik dan emosional, yang lain sistematis dan struktural. Keduanya sangat diperlukan dalam konteks bencana.

Maka, pertanyaan yang sering muncul, siapa yang lebih berpengaruh, Ferry atau Menteri Pertanian?, tidak lagi relevan. Keduanya berpengaruh dengan caranya masing-masing. Ferry menggerakkan hati rakyat, sementara Kementan menggerakkan jaringan negara. Yang satu mengandalkan kepercayaan informal, yang lain mengandalkan kapasitas formal. Perbandingan semacam itu justru melewatkan pelajaran terbesar dari momen ini: bahwa Indonesia kini memiliki dua pilar solidaritas yang sama kuatnya.

Dalam menghadapi bencana sebesar banjir bandang di Aceh dan Sumatera, bangsa ini tidak hanya bergantung pada negara atau individu. Keduanya saling menutupi celah satu sama lain. Rakyat mengisi ruang empati yang cepat, sementara negara memastikan struktur penyaluran tetap kuat dan akuntabel. Jika dua gelombang ini terus bertemu, maka solidaritas Indonesia bukan hanya besar dalam angka, tetapi besar dalam makna.

Posting Komentar

Related Posts