Banjir Bandang Sumut! Bencana Alam atau Kerusakan Lingkungan

Walhi menilai aktivitas pertambangan emas Martabe yang dioperasikan PT Agincourt Resources berkontribusi pada perubahan itu. Luasnya konsesi tambang..

Sumber Gambar - Polda Sumut

Banjir bandang dan longsor yang melanda empat wilayah di Sumatra Utara sejak 24 November lalu meninggalkan jejak kerusakan yang sulit dibayangkan. Sebanyak 2.851 warga harus mengungsi, dan 19 orang telah ditemukan meninggal dunia. Proses evakuasi pun belum tuntas karena banyak lokasi terputus akibat jalan rusak, listrik padam, serta jaringan komunikasi yang tidak berfungsi.

Bagi banyak warga, peristiwa ini menjadi kejutan besar. Mereka mengatakan bahwa banjir sebesar ini belum pernah terjadi dalam puluhan tahun. Air datang dengan cepat dari arah pegunungan, menghantam kota-kota yang selama ini merasa aman dari ancaman banjir. Sibolga, misalnya, yang berada di tepi laut dan biasanya menerima limpahan air hujan dengan aman, kali ini justru diserang banjir bandang dari arah gunung, sebuah situasi yang mengubah persepsi lama tentang wilayah pesisir.

Di tengah kepungan bencana itu, ada cerita-cerita pribadi yang menambah beban emosional. Rose Zebua, yang tinggal di Jakarta, terakhir berhubungan dengan keluarganya pada Selasa siang. Dalam video yang sempat dikirim, keluarganya terlihat berteduh seadanya di hutan, basah oleh hujan dan kelelahan. Mereka terpaksa meninggalkan gereja tempat mereka mengungsi karena tanah di sekitar bangunan itu mulai longsor. Dengan suara yang terdengar gemetar, salah satu kerabat Rose meminta tolong sambil mengatakan bahwa tidak ada lagi jalan keluar. Setelah itu, komunikasi terputus. Rose kini hanya bisa menunggu kabar yang tak kunjung datang.

Cerita serupa dialami Tanti. Ibunya yang sudah berusia lanjut sempat mengungsi dua kali dalam waktu singkat karena air terus naik dan arus semakin kuat. Percakapan terakhir mereka dipenuhi suara panik. Sejak itu, telepon tak lagi tersambung. Tanti mengatakan bahwa seumur hidupnya tinggal di Sibolga, ia belum pernah melihat banjir datang dari pegunungan. Biasanya air cepat mengalir ke laut. Banjir kali ini, menurutnya, menunjukkan ada sesuatu yang berubah di lingkungan sekitarnya.

Sementara itu, BNPB menyebut bahwa cuaca ekstrem akibat Siklon Tropis KOTO dan Bibit Siklon 95B menjadi pemicu hujan lebat dan angin kencang di Sumatera Utara. Namun penjelasan meteorologis saja tampaknya belum cukup menjelaskan mengapa dampaknya begitu besar. Walhi Sumatra Utara menyoroti faktor lain yang tidak kalah penting: penurunan kualitas lingkungan di kawasan hulu, terutama di Batang Toru. Video-video yang memperlihatkan pohon-pohon besar terseret arus memperkuat dugaan bahwa hutan di hulu sudah kehilangan sebagian besar tutupannya.

Walhi menilai aktivitas pertambangan emas Martabe yang dioperasikan PT Agincourt Resources berkontribusi pada perubahan itu. Luasnya konsesi tambang dan aktivitas perluasan area kerja dalam beberapa tahun terakhir, menurut mereka, berdampak pada hilangnya hutan yang berfungsi sebagai penahan air. Perusahaan tidak menanggapi secara langsung tudingan tersebut, namun menyampaikan bahwa mereka membantu proses evakuasi dan telah mendirikan posko di beberapa titik.

Banjir besar kali ini memperlihatkan bagaimana cuaca ekstrem dan kondisi lingkungan saling mempengaruhi. Ketika hutan berkurang, tanah menjadi lebih mudah jenuh air, dan air mengalir tanpa kendali menuju permukiman. Longsor pun lebih cepat terjadi di lereng yang sebelumnya stabil. Situasi ini menunjukkan bahwa bencana tidak hanya soal intensitas hujan, tetapi juga bagaimana tanah dan hutan dikelola.

Hingga kini, banyak wilayah di Sumut masih terisolasi. Tanpa listrik dan komunikasi, koordinasi evakuasi menjadi sangat sulit. Tim yang mencoba masuk melalui jalur laut pun terhambat oleh cuaca buruk dan gelombang tinggi.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar yang layak kita renungkan: apakah banjir bandang ini murni bencana alam, ataukah cerminan perubahan lingkungan yang sudah berlangsung lama tetapi tak pernah dihadapi serius? Jika tutupan hutan terus berkurang dan aktivitas di kawasan hulu tidak dikendalikan, risiko bencana seperti ini hampir pasti akan semakin besar.

Sumatra Utara sedang menghadapi kenyataan pahit bahwa keselamatan warga sangat dipengaruhi oleh kesehatan lingkungannya. Apa yang terjadi pekan ini menjadi pengingat bahwa kerusakan ekologis bukanlah isu tanpa bukti, ia berdampak langsung pada hidup manusia, dan sering kali dengan cara yang tragis.

Posting Komentar

Related Posts